Bulan lalu seorang adik tingkat bercerita. Ia pernah mengajar di sebuah sekolah di kabupaten Malang. Sebagai pengajar tidak tetap (gtt) gajinya tak sampai setengah umr kota Malang. Itu kalau digaji. Pernah ia tak digaji. Lho, kok bisa?

Ternyata sekolah itu bernaung di bawah sebuah yayasan sosial. Sang kepala sekolah adalah kyai yang sudah tua. Prinsipnya ikhlas dan nerimo. Kalau ada bantuan dari pihak luar ya diterima. Kalau tidak ada bantuan, ya sudah. Naasnya, kalau tidak ada bantuan sama sekali ya gurunya gak dapat gaji. …Kasihan.

Lalu saya merenungkan arti sebuah kata “ikhlas”. Apakah benar ikhlas berarti nerimo dan pasif? Lalu merugikan orang lain dan diri sendiri?

Misalnya anda menerima pesanan kue. Lalu teman anda mengambil kue itu tanpa dibayar, apakah anda ikhlas? Bisa jadi anda tidak enak karena ia adalah sahabat yang sudah akrab selama bertahun-tahun. Tapi, business is business. Hal-hal seperti ini bisa merusak persahabatan lho, karena bisa jadi ia mengulanginya lagi. Kecuali, jika anda berniat untuk memberi kue itu sebagai hadiah.

Jadi sebagai antisipasi, mintalah uang muka dahulu, walau pada sahabat atau keluarga sendiri. Jika mereka marah dan berkata “kamu gak ikhlas”, renungkan. Berarti mereka hanya bisa mengambil keuntungan dan berlindung di balik kata “ikhlas”.

Ikhlas adalah sabar dan berusaha. Tak hanya menerima nasib begitu saja. Jika orangtua anda kurang mampu, maka anda berkata “saya ikhlas jadi orang miskin”, wah itu sih bukan ikhlas tapi MALAS. Karena sejatinya tak akan ada orang miskin jika mereka berusaha dan berdoa.

Jadi, intinya apa? Tetaplah sabar dalam keadaan apapun. Tapi juga disertai dengan usaha, doa, dan kemauan kuat untuk sukses.