Dulu saya ingin berjilbab saat sudah menikah saja. Alhamdulillah Allah memberi hidayah, di usia saya yang ke-19.

 

Tahun 2005, hari jum’at siang. Saya menunggu jam kuliah selanjutnya. Seorang kawan mengajak saya ke sebuah kajian khusus wanita di mushalla fakultas. Aih, malu sekali rasanya, tidak berjilbab diantara muslimah yang menutup aurat. Sejak peristiwa itu hati saya terketuk untuk berjilbab. Begitu sampai di rumah, saya meminjam beberapa jilbab koleksi Mama dan belajar memakai jilbab dengan rapi.

 

Hari senin, beberapa teman kuliah bengong melihat saya berjilbab. Beberapa dari mereka bersyukur dan mengucap selamat. Maklum, sebelum memakai jilbab saya terkenal memakai dandanan nyeleneh ala selebritis. Tapi setelah berjilbab gaya busana saya menjadi lebih santun.

 

Ternyata jilbab bermanfaat sebagai perisai, menyelamatkan saya dari serangan dan godaan lawan jenis. Sebelum memakai jilbab saya pernah dilempar kulit jeruk oleh sekawanan pemuda yangΒ  menumpang truk. Di hari lain, guyuran air yang ditumpahkan oleh para kuli yang usil membasahi kepala. Yang paling parah, saya pernah diancam akan diperkosa oleh seorang anak jalanan. Sampai saya trauma dan kapok lewat jalan itu. Setelah berjilbab, tak ada lagi lelaki usil yang menggoda. Jika ada, mereka hanya mengucapkan “assalamualaikum”.

 

Alhamdulillah jilbab juga bisa menjadi identitas muslim saya. Sebelum berjilbab saya sering dikira non-muslim. Maklum kulit saya putih dan mata sipit, mirip WNI keturunan.

 

Berjilbab bukan hanya suatu kewajiban bagi muslimah. Namun juga berfungsi sebagai pelindung dan identitas bagi wanita islam.